Hidup ini serba tidak menentu. Suatu saat, anda bisa berada di atas, suatu saat anda berada dibawah. Seperti ferris wheel yang berputar. Tetapi kapan ia akan naik, kapan ia akan turun, tidak ada yang tahu.
Terkadang terpikir, apabila segala sesuatu di dalam hidup kita terjadi sesuai dengan 'rencana' kita, alangkah baiknya! Tapi tunggu dulu, apakah itu memang yang terbaik? Tidak pasti!!
Ketika rencana kita gagal, kita bisa mengeluh, kepada nasib, kepada lingkungan, kepada negara, bahkan kepada Tuhan juga. Kita menangis, mengapa yang kita inginkan tidak diberikan dengan gampang, padahal sebenarnya apa yang kita inginkan itu belum tentu yang terbaik buat kita.
Tidak jarang dalam hidup kita, ketika kita melihat kembali, ternyata banyak kegagalan yang kita alami, justru mendatangkan berkat yang lebih lagi bagi kita. Kita cuma bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala, membayangkan apa yang akan terjadi, kalau seandainya 'kegagalan' itu tidak terjadi.
Satu hal yang penting sekali, dan terjadi dalam hidupku, adalah bagaimana saya bisa sampai di Singapore. Kalau banyak yang bisa datang karena keluarga mampu, karena pintar, maka saya bisa datang ke Singapore hanya semata-mata anugerah Tuhan.
Keluarga saya di Tg.Pinang, adalah salah satu keluarga yang 'unik', dengan 7 orang anak (6 cowo + 1 cewe), dan semuanya sudah lulus kuliah, terkecuali si bungsu yang masih kuliah sekarang. Buat rata2 keluarga, kalau ada satu anak yang bisa lulus kuliah sudah luar biasa, apalagi 7.
Dari SD, sampai SMA, kalau saya studi, selalu berada dibawah bayang2 saudara2 yang 'perform' di sekolah. Rata2 mereka adalah top student di sekolah, jadi tekanan selalu ada. Di dalam keluarga, kasih dan apresiasi jarang diberikan orang tua, sehingga seolah prestasi menjadi satu2nya penghiburan ataupun security, untuk mendapatkan apresiasi/kasih dari ortu.
Masa SMP, nilai NEM aku sempat menjadi paling tinggi sekabupaten (tidak bisa dibandingkan dengan teman2 dari Jakarta, SMUK2 yang jauh lebih pintar), walaupun masa2 EBTANAS setiap hari saya bermain pool dengan teman2 sekolah. *ini bukan contoh yang baik*.
Prestasi ini tetap dipertahankan di SMA. Prestasi di sekolah, dan hubungan yang baik dengan para guru, membuat saya menjadi sorotan. Saya juga meluangkan waktu untuk memberikan tuition kepada teman2 yang mengalami masalah dalam pelajaran.
Ketika Ebtanas SMA, dua murid saya benar2 angkat tangan untuk pelajaran fisika, dan meminta 'bantuan' saya. Tidak tega melihat mereka gagal, saya menjanjikan akan memberikan selipan jawaban di wc. 30 menit memasuki ujian, saya menyelesaikan 50% pilihan ganda, dan 1 soal essay, dan jawabannya saya salin di dua lembar kertas. Dengan pengaturan yang hati2, dua orang teman saya berhasil mendapatkan lembaran jawaban tsb. Kita tidak pernah ketahuan.
Namun tragedi terjadi, ketika nilai Ebtanas keluar. Nilai Fisika saya merupakan salah satu yang paling rendah di sekolah. 2,30. Hampir semua guru bingung. Kedua teman saya yang mendapat salinan jawaban saya mendapat nilai 5an. Saya kok mendapat nilai 2,30? saya berusaha bertemu dengan kepala sekolah, yang terkenal mata duitan, korupsi. Dan response dia sangat mengejutkan. Dia ga peduli, dan sama sekali tidak mau tau, dan malah sepertinya defensif. Padahal saya cuma minta agar lembaran jawaban saya diperiksa ulang.
Padahal saya adalah salah seorang murid yang pernah mewakili sekolah dalam perlombaan tingkat propinsi. Dalam benak, saya tahu, kepala sekolah ini terkenal 'menjual' nilai demi uang. Siapa lagi yang telah menukar kalau bukan dia?
Di hati kecilku, saya belum begitu membenci 'korup'nya indo waktu itu. Setelah kejadian itu, saya begitu benci, sampai tidak mau tinggal di indo lagi. Saya sebel, marah, dengan ketidakadilan yang saya alami, dan akan tidak adanya bantuan untuk saya sama sekali. Dalam amarah, saya datang ke singapore.
Saya tinggal di rumah sodara. Mereka dulu juga orang Tg Pinang, tetapi karena sejak kecil sekolah di SG, sekarang sudah jadi orang sg. Attitudenya juga serba SG, dan menganggap remeh saya sebagai seorang lulusan SMA indo. Hal ini membuat saya ga senang, karena saya percaya standar saya tidak kalah jauh dengan mereka.
Mereka menasehatiku untuk mengambil kursus bahasa inggris dulu, terus ambil ujian O level (Ebtanas SMP equivalent). Terus masuk politeknik, baru masuk uni. Berarti saya turun 4 tahun minimal. Seorang tamatan SMA belajar untuk mengambil ijazah yang setara dengan SMP? Emang separah itukah standar pendidikan indo?
Karena melihat itu satu2nya jalan keluar, maka saya mengambil O level. Nilai nya ok, tetapi tidak terlalu bagus. Dengan nilai tersebut, tahun 1997 saya mendaftar ke 4 politeknik yang ada. Itu bulan Maret awal.
Di pertengahan maret, saya lihat, bahwa NTU dan NUS juga membuka pendaftaran buat siswa yang sudah mendapat ijazah A level. Dalam hati saya berpikir, kan ijazah SMAku itu juga setara dengan A level, kenapa gak dicoba? Nem saya yang fisika itu 2,30, jadi saya mendaftar pakai STTB aja yang fisikanya 5, sedangkan nilai yg lainnya 9. Kan lumayan.
Relasi saya mencemooh saya. Taraf pendidikan di indonesia itu parah, katanya. Kamu ga mungkin bisa masuk. Buang2 uang saja, katanya. Menurutku sih, uang 25 dolar untuk mencoba, kenapa tidak? kan siapa tau. Kenapa melarang aku mencoba? Masuk ga masuk kan urusanku.
Saya diterima di Temasek Politeknik, dan Singapore Politeknik, di bulan April. Saya memilih Singapore Poly. Dan sudah membayar uang sekolah, etc. Dalam hati saya masih berharap untuk bisa diterima di uni, walaupun memang kenyataannya NTU/NUS saat itu tidak menerima student dari Indonesia, terkecuali peraih beasiswa.
Bulan Mei, saya menerima surat dari NTU. Saya diterima. Relasi saya bengong. Mana mungkin! katanya. standar indonesia, loe pasti bakal KO di sana. Mereka mencoba membujuk aku untuk masuk Poly aja dulu. Setelah lulus baru masuk NTU. Katanya itu akan lebih baik buat aku. Dalam hati aku tau, mereka cuma iri, karena aku bisa masuk NTU langsung. Mereka perlu menyekolahkan anaknya susah payah dari SD - Uni, itu biayanya sangat besar. Sekarang anak ini tau2 bisa masuk, tentu suatu 'blow' terhadap mereka.
Saya pun membatalkan studi di SP, dengan alasan yang unik -> karena diterima di NTU, mungkin tidak ada orang kedua yang mengalami hal yang sama dengan aku. Pendaftaran di NTU, pengurusan loan, pengurusan asrama, semuanya berjalan dengan lancar. Bulan Juli, saya pindah ke dalam asrama NTU, hall 11 tercinta.
Setahun pertama di NTU, prestasi saya di sekolah lumayan. Tidak 'ngos-ngos'an seperti prediksi relasi saya. Memang bulan pertama agak susah menangkap pelajaran yang disampaikan dalam bahasa Inggris. Tetapi nilai saya adalah top 10% murid terbaik, bahkan lebih baik dari sebagian scholar yang ada waktu itu.
Saya harus mengatakan bahwa masuknya saya ke NTU adalah anugerah. Karena selain saya, tidak ada satupun orang indo yang berhasil masuk dengan ijazah indo langsung ke NTU. Yang ada hanya sekitar 20 scholar yang mendapat beasiswa dari seluruh indonesia. Selain itu ada lagi seorang dari Tg Batu yang masuk dengan NEM yang bagus. Saya satu2nya yang mendaftar dengan STTB.
Setahun berlalu, NTU Registrar office menelpon saya. "Suhandy, we realized that we have not received your NEM yet, can you submit to us ASAP?". Dalam hati saya berpikir:"gawat, jangan-jangan saya akan dikeluarkan.". Ketika saya menghadap dengan NEM fisika 2,30, registrar tersebut melihat dengan mata membelalak. "Your Physics is only 2,3?" saya cuma mengatakan, in Indonesia, a lot of things can happen to change a person's score. Mine is one of them. But that is not important. The important thing is that you should realize that now my school result is within the top 10%. That should prove that I am capable to study in this course, and that my NEM was wrongfully marked. Saya keluar dari ruangan interview tanpa penalti, walaupun hati tetap deg-degan.
Ada banyak hal yang harus disyukuri dalam masa studi di NTU. Selain fasilitas uninya memang lebih baik dibanding dengan uni2 di indo, jauh dari diskriminasi orang pribumi, ataupun orang kota terhadap kami (orang pulau). yaitu saya kembali mengenal Kristus.
Saya dikenalkan kepada persekutuan kampus CF, dan diajak ikut ke Cell/Care group di hall 11. Di situ, teman2 SG mengajak ke gereja. Di situ juga, saya mengenal apa yang disebut pelayanan, terutama dalam pelayanan di Music Ministry. Saya belajar paduan suara, dan musical di situ. Dan benar2 suatu pengalaman yang menjadi dasar dari pelayanan saya selanjutnya.
Masa2 di NTU, juga adalah masa2 perintisan pelayanan NTU ISCF, persekutuan kristen untuk orang indo yang pertama di SG, bersama dengan Andreas dan teman2. Saya diberikan kesempatan melayani di dalam kepengurusan yang pertama. ISCF saat ini sudah ada di hampir seluruh kampus di singapore.
Masa2 itu juga, saya mulai ke GPBB (1998) dan dibaptis di bulan November. Memulai resume pelayanan dari paduan suara, perintisan komisi pemuda, hingga menjadi anggota BP dan Majelis.
Kalau dilihat kembali, kepahitan, kepedihan, terhadap Indonesia, ketika mendapat nilai NEM jelek, memang nyata. Tetapi tanpa itu, mungkin saya tidak akan ke SG. Saya mungkin akan masuk UI atau ITB, dan saya melihat banyak teman2 saya yang concernnya cuma studi dan studi. Mungkin saya tidak akan sempat mengikuti persekutuan kampus sama sekali.
Melihat sekarang, pelayanan yang saya punya, teman2 tercinta di GPBB tercinta, yang benar2 sudah menjadi rumah kedua bagiku. Saya harus senantiasa bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan. Teman2ku, tanpa bantuan kalian, tidak akan ada Suhandy di hari ini. Terima kasih atas pertolongan kalian, karena selalu ada di sisiku.
Apabila disuruh memilih kembali jalan hidupku, aku akan tetap memilih jalan yang sama ini. Seperti film 'Be With You' di blog sebelum ini, saya tidak akan menukarkan hidup ini dengan skenario yang lain, karena saya ingin hidup bersama dengan Tuhan, bersama dengan teman2ku yang kukasihi ini semua.
Tuhan memberkati
Labels: Personal